Redaksi Banten,- Apakah Anda lebih nyaman mengungkapkan perasaan lewat chat ketimbang bertemu langsung? Fenomena ini kini menjadi wajah baru komunikasi generasi muda. Data portal (2025) mencatat rata-rata anak muda Indonesia menghabiskan 3,5 jam per hari di media sosial. Tak heran jika banyak yang merasa online lebih nyaman dibanding tatap muka.
Namun, apakah kenyamanan itu membuat kemampuan berempati berkurang? Nyaman, tapi Rapuh Komunikasi digital memberi rasa aman. Kita bisa memilih kata, mengedit pesan, bahkan menghapus jika keliru. Hal ini berbeda dengan interaksi langsung yang menuntut spontanitas. “Anak muda lebih terbuka di ruang digital karena ada jarak psikologis,” kata psikolog Ratih Ibrahim (2024).
Tetapi, rasa nyaman ini berisiko. Banyak anak muda merasa canggung dalam percakapan tatap muka. Rasa gugup bertemu langsung bahkan disebut sebagian generasi sebagai “social anxiety baru”.
Empati yang Memudar
Empati lahir dari ekspresi wajah, intonasi, dan bahasa tubuh. Semua itu sulit ditangkap lewat layar. Penelitian American Psychological Association (2023) menunjukkan, mereka yang lebih sering berinteraksi online cenderung memiliki tingkat empati lebih rendah.
Bukti sehari-hari mudah ditemukan. Debat online cepat berubah jadi saling hujat. Tanda sedih teman cukup dibalas emoji 😢, tanpa benar-benar hadir mendengar.
Apakah kita sedang menuju “krisis empati digital”?
Dua Sisi Mata Uang
Meski begitu, komunikasi online punya sisi positif. Anak muda introvert lebih percaya diri mengekspresikan diri, komunitas digital memunculkan solidaritas lintas daerah, bahkan jadi penyelamat saat pandemi.
Masalahnya bukan pada teknologinya, melainkan ketidakseimbangan. Ketika online sepenuhnya menggantikan tatap muka, di situlah empati terancam pudar.
Mencari Jalan Tengah
Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh:
1. Edukasi literasi digital empatik di sekolah dan kampus.
2. Menghidupkan ruang sosial nyata, dari kegiatan komunitas, olahraga, hingga seni.
3. Desain platform yang manusiawi, misalnya fitur anti-komentar beracun.
4. Peran keluarga dan teman sebaya dalam melatih komunikasi tanpa gawai.
Penutup
Komunikasi online memang nyaman. Tapi emoji tidak bisa menggantikan tatapan mata, dan video call tak bisa sepenuhnya menggantikan hangatnya pelukan.
Generasi muda boleh akrab dengan dunia digital, asalkan tidak kehilangan kemampuan paling manusiawi: empati.
Biodata Penulis :
Rasti Septa Sari, mahasiswa jurusan Akuntansi Syariah, Universitas Islam Tazkia